November in the rain
Dengan payah aku mendengar desas-desis tentang mu yang kerap hadir dikala hujan bertamu. Jika itu kamu, tentunya aku akan bahagia. Namun, jika bukan kamu, tentu aku akan tetap tersenyum. Tiap waktu yang sudah tak terhitung jumlahnya, telah ku habiskan untuk meletakkan mu dimemori ingatan serta ruang hati yang dirasa sudah semakin menyesakkan. Tanya menghampiri benakku, ruang ini yang menyempit, atau memang kau yang semakin tak sadar diri, hingga menghabiskan seluruh ruang hanya untuk mu.
Telah kususuri
jalan ku, ditemani derasnya hujan yang sudah beberapa hari ini menemani
perjalananku. Tak ku gubris ia, tak ku lindungi pula diri ini dengan jas yang
kerap orang pakai dikala hujan datang. Ada rasa dirimu yang memelukku dikala
hujan mengguyur tubuh ini. Terlihat beberapa orang yang memilih meneduh, ada
yang memilih pohon rindang sebagai tempat berlabuh, ada yang memilih
warung-warung kecil ditemani secangkir kopi yang terlihat masih menampakkan
kebulannya, dan ada pula yang memilih toko-toko yang tampak tutup namun terbuka
untuk siapapun yang ingin berteduh.
Karena dirimu, aku
menyukai hujan. Senyum ku selalu merekah dikala hujan datang, walau ku rasa,
ada tetesan air mata yang sesekali menyatu dengannya. Semut-semut dikepala
menggerayangi otakku, bertanya gilakah aku, tersenyum sambil menangis, atau
menangis sambil tersenyum. Namun, tak pernah kutemukan jawabannya.
“Lagi-lagi kamu
pulang dengan kuyup.” Ucap ibu geram.
“Iya, aku akan
langsung bilas badan ku.” Jawab ku yang mulai melepaskan atribut yang ku
kenakan, dari mulai helmet hingga sepatu.
“Untuk apa punya
jas hujan, jika tidak dipakai?” Ibu memberikan handuk kecil guna mengeringkan
rambutku.
Wanita paruh baya
yang sudah hampir dari 20 tahun aku panggil ibu, selalu dapat membuat ku tersenyum
dengan omelannya, namun tetap memberiku kehangatan, yang tidak pernah aku
dapatkan dari wanita paruh baya lainnya. Secangkir teh hangat telah nangkring
diatas meja kamar ku, dengan note yang selalu sukses buatku tersenyum hingga
mampu menaikkan level sayang ku pada ibu. Hangatkan
dirimu sayang, karena dinginmu akan menjadi dinginnya ibu. Ku letakkan note
yang diisi pada post it bewarna merah muda itu pada dinding kamar yang semakin
tertutup warna cat aslinya karena tempelan post it kiriman ibu.
Langit tak ubahnya
menjadi terang, masih tampak redup dengan kabut awan yang menyelimuti. Seperti
ibu yang tak ubahnya untuk selalu menatap pagar yang membatasi ruang lingkup
kami dengan dunia luar. Memandang sesuatu yang nampaknya hanya akan menjadi
khayalan, khayalan yang selalu membuat ibu tersenyum, walau hadirnya tak kasat
mata.
“Aku sayang ibu.”
Ku rekatkan tubuhku pada punggung tubuhnya.
“Makan yuk, ibu
sudah menyiapkan makanan.”
“Pasti banyak.”
Semakin ku rekat pelukkan ku dengan khayalan yang membuat basah pundak ibu yang
menopang daguku.
“Jangan menangis,
kita dapat bagikan makanan pada orang terdekat, kan itu baik.” Ibu melepas
pelukanku, dan menatap tersenyum.
Tanpa sadar,
nampaknya memang setiap hujan reda, aku dan ibu akan membagikan makanan pada
tetangga terdekat. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan sampai hafal, jika
hujan reda tinggal menghitung mundur, kami akan datang menghampiri. Ada pula
yang memahami, dan meyakinkan kami jika waktu yang ditunggu akan tiba pada
saatnya. Tak ubahnya, kami hanya tersenyum meng’aamiini.
Detik waktu terus
berputar, namun ingatan ku tidak pernah berubah. Seolah waktu telah berhenti
hanya untuk ingatan yang membuat diri ini semakin sesak. Tak ubahnya, hujan
dipagi ini menemani ku dalam perjalanan menuju lokasi tempat ku mengajar.
Meluapkan tawa dengan canda yang menjadi ciri khas mereka. Mereka yang terlihat
begitu polos dan tanpa beban, membawa ku menuju kedamaian. Rasanya ingin
kembali ke masa kanak-kanak, dimana aku masih dapat bersama ibu dan dia.
Dia, ayahku. Lelaki
yang selalu memenuhi memori ingatan serta ruang hatiku, yang kini sungguh
semakin terasa sesak. Dia yang semakin tak sadar diri, hingga menghabiskan
seluruh ruang dihati hanya untuk memikirkan dan mengingatnya. Ayah, jika aku
tahu saat itu adalah hujan terakhir ku bersama ayah, sungguh takkan ku biarkan
hujan itu mereda. Ingatan selalu membawaku pada 3 tahun silam, ingatan yang
tampaknya takkan pernah menjadi samar, bahkan semakin menguat.
“Ayah hanya akan
pergi sebentar, tidak akan lama.” Ayah memelukku erat.
“Ayah kan baru
sebentar dirumah, kenapa gak seperti
ayah teman-teman ku yang selalu ada dirumah.” Aku yang semakin terisak.
“Ayah akan pulang
cepat sayang, bahkan sebelum hujan reda, ayah pastikan sudah memelukmu lagi.”
Sangat jelas
isakkan tangis ku saat membiarkan ayah melewati gerbang rumah, selepas ia
memeluk dan mencium ibu dengan tangis yang diwarnai senyuman tulus. Hingga
kini, masih ku rasakan senyum tulus itu hingga isakkan tangisku.
“Hujannya awet
banget ya, dari pagi hingga siang belum juga reda.” Keluh seorang ibu yang
sedang menjemput anaknya yang pun menjadi muridku.
Senyum ragu
mewarnai bibir ini, ada jiwa yang berharap agar hujan mereda, namun ada hati
yang berharap hujan selalu hadir. Hati ini yang selalu bahagia jika hujan
bertamu, namun sedih jika hujan pamit, sedang pamitnya hujan pun tak membuat
ayah menghampiri.
“Bunda aku lapar.”
Keluh seorang murid pada ibu yang menghampirinya dengan genggaman payung
ditangannya.
“Lapar ya sayang,
bunda masak udang asam manis, kesukaan kamu dan ayahmu.” Jawab seorang ibu
sambil menuntun anaknya.
“Horeee.” Tampak
bahagia dari anak perempuan itu.
Senyumku merekah,
mengingat ibu yang selalu setia memasaki aku, bahkan hingga kini yang tampak
aku bukanlah seorang anak kecil lagi. Namun seketika menipis, mengingat ayah,
sudah hampir 3 kali dihari ulang tahun ayah harus kulalui tanpanya. Haruskah
aku membeli hadiah untuk mu? Aku tahu dirimu sedang bertugas, untuk menafkahi
aku dan ibu. Namun bagaimana dengan kebahagiaan kami, tidak pentingkah?
“Ibu Maya kenapa
tidak pakai jas?” Tanya rekan mengajar padaku.
“Tak apa bu, saya
duluan ya.” Ucapku pamit.
Hujan, kau sungguh
dapat menjadi musuh dan teman terbaik, hadirmu menemani kepergian ayahku, yang terkadang
membuat ku gusar, namun hadirmu pula yang menemani dan dengan setia menyatukan
dirimu dengan air mata ku.
“Membawa hadiah
lagi?” Tanya ibu sambil membawakan handuk kecil untukku, nampaknya ibu sudah
benar-benar lelah memarahiku yang tidak pernah lagi memakai jas hujan.
“Iya, selamat ulang
tahun untuk ayah.” Ku cium punggung tangan kanan ibu, dan memeluknya.
“Ibu ganti baju
dulu ya, baju ibu ikut basah nih sama kamu, nanti kita makan sama-sama.” Ibu
melangkah meninggalkan aku yang masih melepas atribut ku dihalaman rumah sambil
menggemgam hadiahku untuk ayah.
Tak pernah berubah,
ibu selalu dapat membuat ku tertawa, bahkan walau hatinya menangis. Entah
sampai kapan akan ku isi hari khusus ini dengan tawa geli yang tak pernah
berkurang. Menurut ibu, hari ulang tahun ayah, tentu harus ada ayah, jadi ibu
akan mengenakan pakaian ayah, hingga dasi dan kemeja kerjanya. Kupeluk erat
ibu, rasanya Tuhan begitu baik padaku, tidak adil rasanya untuk marah pada
Tuhan karena merasa diri tak sama dengan anak lainnya. Seringnya aku berfikir,
dapatkah aku kelak menjadi seorang ibu yang baik seperti ibu, mungkinkah aku
mendapatkan suami yang tulus seperti ayah. Sungguh, mereka adalah dua insan
yang tidak akan pernah lenyap dari ingatan dan hatiku.
Menjelang penutupan
tahun ketiga, walau belum genap, namun tak ubahnya pada diriku, masih mencintai
hujan dengan sangat. November, bulan hujan katanya. Aku selalu menanti dirimu,
walau banyak dari mereka yang kesal terhadapmu. Bulan hujan akan berganti
menuju bulan penutup, namun hari ini tampak hujan bertamu pada penduduk bumi
cukup lama, entah hanya aku saja, atau yang lainpun merasakannya. Hadirnya
tidak deras, hanya rintik yang ramai serta hembusan angin tipis yang
menghampiri bagai gadis yang tersenyum sipu dipinggir jalan.
“Ada hati yang
sedang dikabulkan oleh Allah.” Ucap ibu sambil melepas kain shalatnya.
“Maksudnya?” Tanya
ku menghampiri ibu.
“Hujan tak berhenti
dari langit gelap hingga langit benar-benar menjadi gelap kembali.”
Seakan ada maghnet
antara mata dan kaki ini. Arah mata yang memandang langit walau tak berbintang,
namun seolah memberi cahaya padaku, tanpa perintah, kaki ini melangkah menuju
pintu yang menampakkan cahaya pada kedua mataku. Cahaya yang tak pernah bosan
untuk ku bayangkan dan ku nanti.
“Kan sudah ayah
bilang, ayah akan pulang sebelum hujan reda.” Ucapnya sambil merentangkan
tangan dan senyum khasnya yang merekah.
“Ayaaahhhhh.” Langkah
ku membesar, suara ku lantang, kupeluk ayah dan tidak memperdulikan piama ku
yang basah karena sambaran hujan dan baju ayah.
Ibu menanti kami
didaun pintu rumah, dengan senyum hangat dan genangan air mata kebahagiaan.
Peluk cium ayah pada ibu yang begitu kuat, aku bahagia, menyaksikan cinta yang
begitu sejati benar-benar nyata didepan mataku. Seusai ritual rindu, kami
saling membersihkan diri masing-masing, ibu pun tampak ikut basah karena ayah.
“Porsi sebanyak ini
untuk dua bidadari ayah?” Ayah terkejut melihat seluruh makanan yang terletak
rapi diatas meja makan, aku dan ibu hanya saling menatap tertawa.
Menurut ibu, hujan
yang menghantarkan kepergian ayah, hujan pula yang kelak menghantarkan
kepulangan ayah, tentu harus selalu dirayakan dengan memasak menu kesukaan
ayah, dan hari ini perayaan yang dinanti tiba.

Komentar
Posting Komentar