Kisah si Penghuni Hutan
Cahaya lilin ditengah ruang yang redup. Raksasa besar singgah diantara dinding-dinding. Suara rintik hujan menemani khayal yang semakin tak terarah. Alunan musik jazz klasik ala Bob James menemani kala itu.
“Si angsa putih menjelma menjadi debu.” Bisik suara yang semakin mengeras, masuk keruang hati paling dalam.
Dikenal dengan nama Azkia Alkamora. Kedua bola mata dengan iris bewarna biru yang terlihat begitu samar. Berkulit putih seperti angsa kerajaan. Uraian rambut yang hitam tidak menutupi lekukan wajah yang dihiasi lesung pipi yang hanya terlihat saat tersenyum. Rahang wajah yang tegas, dan perawakannya yang tinggi. Keistimewaan yang selalu dibungkus dengan pakaian hitam bludru milik wanita paruh baya yang kerap dipanggil ibu. Warna hitam yang lekat mampu membuat Azkia tambah bercahaya sesuai dengan namanya. Cahaya yang ingin dilihat oleh siapapun yang memandang. Cahaya yang selalu terlihat dari kejauhan mata memandang. Namun, cahaya itu cukup redup, redup dari jarak yang sangat dekat.
Perkara asmara siapa yang tahu. Buaya saja yang nampaknya hanya seekor hewan buas dapat ikut andil didalamnya. Kadal pun seakan tak mau kalah. Perkara asmara siapa yang tahu. Semua berjalan begitu saja, tanpa ada alur yang mengatur, atau memang tidak dapat diatur. Perkara asmara siapa yang tahu. Angsa kerajaan pun dapat mencintai seekor kera yang mungkin menjelma menjadi seekor buaya dengan sikap kadalnya.
Cermin malam ini tidak hanya memantulkan cahaya wajah Azkia. Namun, memantulkan khayalan-khayalan yang tak berujung.
“Cahaya? Azkia adalah cahaya. Alkamora? Alkamora adalah cantik.” Bisik Azkia pada dirinya sendiri.
Malam Azkia habiskan dengan cahaya lilin ditengah redupnya ruang dengan alunan musik jazz klasik penghantar lelap.
“Buka mata indah mu, pandang dengan keindahan senyummu.” Wanita paruh baya membangunkan Azkia dari lelapnya.
Menghabiskan waktu bersama mentari ditengah pohon-pohon yang saling memamerkan keindahannya pada siapapun yang memandang. Mengayuh sepeda kesayangan dengan hiasan ranjang disisi depan, menjadi wadah bunga yang dipetik oleh Azkia. Udara sejuk yang terasa sedikit harap cemas pada polusi udara yang semakin menguasai. Mentari dipagi hari tak pernah ia lewatkan. Mentari dipagi hari adalah waktu yang menjadi favoritnya. Mentari dipagi hari yang menjadi sahabat penyejuk mata dan hatinya. Sahabat yang juga mengenalkan Azkia dengan si kera. Suara yang terdengar keras itu masih sangat kuat diingatan Azkia. Suara yang menunjukkan rasa sakit yang dirasa disaat seseorang terjatuh.
“Siapa?” Azkia mencari sumber suara yang didengarnya. Tidak ada seorangpun yang ia lihat, hanya desiran pohon yang mengayun diterpa hembusan tipisnya angin. Azkia lanjut mengayuh sepedah merah jambunya.
“Tolong.” Suara rintih terdengar, membuat Azkia menghentikan sepedahnya.
Azkia semakin yakin dengan apa yang didengarnya, ia letakkan sepedahnya pada sisi bibir bukit. Azkia mencari pada sisi bukit yang menjorok kebawah, hingga ia temukan si kera tampan yang bernama Abimana.
“Panggil saja Abi.” Ucapnya sambil membersihkan pakaiannya yang kotor. “Terimakasih sudah menolong.” Lanjutnya mengulurkan tangan pada Azkia.
“Sama-sama.” Azkia mengulurkan tangannya.
Kembali mengayuh sepedah, Azkia tersenyum mengingat wajah Abi. Berfikir, selama 10 tahun mengayuh diwaktu yang sama, kenapa tidak pernah melihatnya. Harap cemas, semoga bertemu lagi atau mungkin tidak akan ada kesempatan dilain waktu.
“Kamu mengayuh sepedah diwaktu yang tepat.” Ucap pengayuh sepedah yang tiba-tiba hadir disisi kiri Azkia.
“Abi? Hey..”
Kecemasan hilang, harapan datang. Pertemuan antara angsa putih dan si kera terus berlanjut. Selalu melakukan aktifitas dipagi hari bersama.
“Kamu selalu sendiri jika bersepedah?”
“Tidak, aku ditemani mentari dipagi hari dan udara yang sejuk.”
Azkia Alkamora, semakin memancarkan cahaya cantiknya. Irisan senyum pada garis bibirnya menjadikan ia menjadi angsa putih kerajaan yang sesungguhnya. Wanita paruh baya yang selalu dipanggil ibu sudah mulai merasakan jika ada sesuatu yang berbeda dari putrinya. Walau tidak menggubrisnya, namun kecemasan datang menghampiri dan berharap jika harapan tidak hilang. Satu purnama bukan waktu yang singkat. Kedekatan antara si angsa dan kera semakin terlihat.
“Aku petik bunga ini untuk kamu.” Abi memberikan sekumpulan bunga matahari dikepalan tangannya pada Azkia.
Harapan semakin jelas. Angsa putih semakin tidak sadarkan diri, terbang karena perasaannya. Ia simpan bunga matahari itu, harap-harap tidak akan layu. Ia simpan dibalik bilik kamarnya yang penuh dengan bunga-bunga. Bunga-bunga yang ia petik dan dirawat seolah kalah cantik dengan bunga matahari yang Abi beri. Bunga yang memancarkan cahaya kebahagiaan dipelupuk mata Azkia hingga menciptakan garis panjang pada bibir tipisnya. Cahaya yang ia sebut sebagai alkamora.
Malam yang dinanti telah tiba. Malam cahaya. Malam alkamora untuk Azkia Alkamora. Cahaya lilin menyinari ruang yang redup, ditemani musik jazz klasik ala Bob James dikala itu. Dikelilingi bunga mawar dengan warna merah yang merona. Dikelilingi cahaya lilin yang menjadi rona pada mawar bercahaya dengan indahnya.
“Cantik.” Azkia bahagia melihat apa yang ia lihat.
“Kau suka?”
“Semua wanita akan menyukainya.” Garis bibir yang semakin memanjang menepi diwajah Azkia.
“Ini semua untuknya.”
“Untuknya?” Azkia terkejut, siapa yang Abi maksud.
“Iya, untuk Alice siputeri bunga. Ia persis seperti mu, menyukai bunga.”
Cemas menghampiri, lupa terhadap rasa harap yang sempat datang dengan sombongnya. Alice, nama itu terus berputar diingatan Azkia. Alice, nama itu terus terdengar ditelinga Azkia. Alice, tanpa sadar, nama itu telah membuat pipi lembut Azkia basah. Alice, dengan singkat nama itu telah mendatangkan kecemasan. Alice, dengan singkat petir telah menyambar ruang hati Azkia dan meruntuhkan harapan.
“Papah.” Panggil seseorang yang mungkin bernama Alice. Suara yang menarik tubuh Azkia untuk berbalik arah.
“Kamu seorang ayah?” Azkia terkejut karena melihat seorang gadis kecil menghampiri Abi.
“Aku seorang ayah yang selalu menanti seorang wanita, wanita yang telah melahirkan Alice.” Abi memeluk erat gadis kecil yang memanggilnya ayah, dengan mawar yang telah memenuhi genggaman ditangannya.
Si angsa putih menjelma menjadi debu. Bisik suara yang semakin mengeras, masuk keruang hati paling dalam. Bisik suara dihati yang seolah terdengar jelas ditelinga.
“Terimaksih telah menjadi teman baikku, kini ku memahami bagaimana cara menanti seperti dirimu yang selalu menanti pangeran angsa mu. Aku akan menanti ratu kera ku.”
Azkia terdiam, instrumen musik jazz klasik merasuki dirinya. Cahaya lilin mencoba menerangi malamnya. Cantiknya rona pada mawar mencoba mempertahankan parasnya. Angsa akan selalu jadi angsa, kera akan selalu menjadi kera. Namun apa mungkin, jika kera menjelma menjadi seekor buaya dengan sikap kadalnya. Perkara asmara siapa tahu, nyatanya angsa pun dapat terluka karena kera.
Komentar
Posting Komentar