Ruang Lingkup Ibu
Pemikiran yang hadir pada setiap individu dapat terbentuk dari ruang yang ia hadapi. Semaki luas ruang yang ia temui, semakin luas pula pemikiran yang ia miliki, begitu pula sebaliknya. Walau hal ini bukan rumus pasti (mutlak) namun, dapat menjadi pasti di sebagian kalangan.
Mengapa saya menulis kata "Ibu" pada judul, bukan saya ingin mendeskriminasikan para Ibu, percayalah saya pun seorang Ibu. Ya, penulis disini juga seorang Ibu. Namun, tulisan ini bukan hanya untuk para Ibu, setiap kalangan dapat membacanya, yang di harap dapat menjadi lebih paham bagaimana seorang Ibu yang tidak hanya melakukan tugasnya namun, Ia juga sering kali harus mengatur apa yang baik dan tidak untuk Ia simpan di dalam fikirannya. Walau nyatanya, sering kali para Ibu tidak dapat memfilternya.
Kognitif, cara belajar seseorang melalui persepsi. Informasi yang di jadikan seseorang sebagai sumber pengetahuan yang akhirnya membentuk suatu persepsi pada dirinya. Kembali ke topik mengenai Ibu, kenapa saya mengerucut pada seorang Ibu, karena sering kali sistem kognitif pada Ibu menjadi sempit karena kurangnya ruang. Setiap hari dari melek mata hingga memejamkan mata hanya untuk melakukan urusan rumah. Hal yang terlihat sepele namun, tidak.
Secara fisik ada yang melihat hal ini melelahkan ada pula yang terbiasa, hanya saja urusan dari dalam rumah ini tidak hanya melelahkan fisik namun, juga mental. Kenapa? Karena sistem kognitif para Ibu yang semakin menyempit, hingga membentuk persepsi-persepsi yang seakan semakin memberatkan mental Ibu. Membuat Ia menjadi mudah menangis hingga emosi yang tidak terkendali.
Kiasan mengenai, bahagiakan Ibu maka akan bahagia seisi rumah. Kiasan yang terkesan egois namun ketika saya merasakannya, saya menjadi paham. Bukan, bukan karena seolah Ibu ingin di bahagiakan dahulu, melainkan karena Ibu lah jantung di dalam rumah. Bayangkan, seorang anak, dua orang anak, tiga orang anak, bahkan lebih, setiap mereka membuka mata urusan sekecil apapun sebisa mungkin mereka akan bertanya pada Ibu, bahkan hingga mencari kaus kaki yang hilang sebelah.
Para suami yang menanyakan secangkir kopi atau teh di pagi hari, bunyi perut yang sudah memanggil untuk di isi. Belum lagi urusan rumah yang menanti, seperti debu yang terlihat mengganggu, mainan yang berserakan, piring kotor yang menumpuk, baju kotor yang sudah merusak pemandangan, dan banyak lainnya. Walau mungkin beberapa Ibu sudah di bantu dengan asisten rumah tangga, hanya saja tugas menjadi seorang Ibu tidak lenyap begitu saja.
Bayangkan, seorang Ibu mengurus semua hal itu, dan jika dalam dirinya sedang ada sebuah lubang yang mungkin awalnya kecil dan tidak terasa hingga akhirnya membesar dan menyesakkan dada. Bagaimana mungkin dapat menghandle yang ada di dalam rumah dengan baik? Dan lubang yang sudah terlanjur ada dan membesar itu, bagaimana caranya agar mudah di tutup dengan sekejap mata. Badan yang lelah dapat hilang setelah beristirahat namun, mental yang lelah tidak akan hilang walau sudah memejamkan mata untuk tidur.
Sistem kognitif Ibu yang semakin menurun, persepsi Ibu akhirnya mulai over, hingga akhirnya mengganggu mental. Membayangkannya saja menjadi semakin sesak. Di sinilah kerja sama antara seorang suami dengan istri. Membangun behaviour kepada pasangan, merespon segala keluh kesah yang mungkin tidak seberapa dengan beban yang para suami rasakan di ruang kerjanya.
Hanya saja komunikasi yang terkesan sepele tersebut jika rutin di lakukan tidak akan membuat lubang pada jiwa para Ibu tumbuh membesar. Dan senantiasa menumbuhkan sitem kognitif pada Ibu dengan sharing mengenai dunia luar, membuat Ibu tetap memiliki wawasan yang tidak terbatas walau secara raga terbatas oleh tembok rumah.
Melakukan pendekatan secara humanistik dengan anak-anak, pendekatan yang dapat menumbuhkan kebahagiaan hingga menciptakan tingkah laku atau sikap positif pada anak. Jangan biarkan para anak hanya memandang Ibu tanpa melihat hadirnya Bapak. Jangan biarkan fatherless di rasakan oleh generasi yang kita miliki. Ciptakan ruang lingkup hangat yang akhirnya juga dapat di rasakan oleh seluruh anggota keluarga.
Akhirnya, kerja sama yang baik antara kedua orang tua dengan menghadirkan jiwa dan raga untuk pasangan serta anak-anak (tidak hanya kerja sama dalam kewajiban, seperti para Bapak yang merasa cukup ketika pasangan dan anak-anaknya sudah berada di dalam rumah yang aman dan nyaman, serta tidak merasa kelaparan karena sudah di siapkan dari hasil jerih payah Bapak) dapat menimbulkan hal yang baik. Selain dapat menciptakan mental yang sehat bagi pasangan, dapat juga menciptakan atau pembentukan karakter yang positif pada anak.
Karena sejatinya ada hal mengenai sitem belajar konstruktivisme, yaitu suatu pembelajaran pada diri seseorang yang mengembangkan perspektif pada dirinya, yang pengembangan perspektif ini tidak hanya dari pengetahuan, melainkan di korelasikan dengan pengalaman yang dimiliki.
Jazakillahu khairan atas sharing ilmunya umm,, next time bisa kulas juga tentang peran orang tua dalam pembentukan karakter positif pada anak.. Terus berkarya lewat tulisan..
BalasHapus